Jakarta, GayaTekno.id – Bayangkan jika kamu tengah berada di ruangan tersembunyi di jantung Vatikan, di mana udara dipenuhi ketegangan, bisikan doa, dan intrik politik yang mengancam meruntuhkan institusi berusia ribuan tahun.
Conclave, film adaptasi dari novel bestseller Robert Harris yang disutradarai oleh Edward Berger (All Quiet on the Western Front), membawa penonton ke dalam labirin rahasia pemilihan Paus yang penuh misteri, manipulasi, dan konflik moral.
Dengan kombinasi pemeran papan atas, sinematografi memukau, dan narasi yang menggigit, film ini bukan sekadar drama religius, melainkan thriller politik yang mengajak kita bertanya: Di mana batas antara iman dan ambisi?
Sinopsis Film Conclave
Alur cerita film Conclave mengisahkan tentang proses pemilihan Paus baru setelah kematian mendadak pemimpin tertinggi Gereja Katolik.
Kardinal Thomas Lawrence (diperankan oleh Ralph Fiennes), seorang biarawan tua yang dihormati sekaligus dijauhi karena integritasnya yang tak tergoyahkan, ditugaskan sebagai Camerlengo (penjaga sementara Tahta Suci).
Tugasnya adalah memimpin 118 kardinal dari seluruh dunia dalam konklaf, proses tertutup yang mensyaratkan isolasi total hingga terpilihnya Paus baru.
Namun, di balik ritual sakral dan doa-doa khusyuk, pertarungan kekuasaan mulai menguak. Setiap kardinal membawa rahasia gelap, ambisi pribadi, dan agenda politik yang bisa mengubah masa depan gereja.
Dari skandal finansial, hubungan terlarang, hingga konflik dengan pemerintah global, semua terungkap melalui dialog cerdas dan kilas balik yang mempertanyakan kesucian para calon pemimpin spiritual dunia.
Ulasan
Edward Berger sukses mengubah novel yang sarat dialog dan refleksi filosofis menjadi film dengan pacing yang cukup ketat.
Adegan-adegan statis di Kapel Sistina diimbangi dengan flashback dinamis yang mengungkap latar belakang karakter.
Berger juga menghindari klise drama religius dengan memasukkan elemen thriller, seperti penggunaan musik minimalis bernuansa mencekam (oleh komposer Hans Zimmer) dan sudut kamera rendah yang memperkuat kesan hierarki kekuasaan.
Dari aspek penokohan, Ralph Fiennes sebagai Kardinal Lawrence membawakan performa penuh gravitasi. Ekspresinya yang terkendali namun penuh gejolak batin menjadi poros film.
Kemudian ada Stanley Tucci yang memerankan Kardinal Bellini, kandidat progresif yang ingin mereformasi gereja, menampilkan karisma ambigu antara idealis dan oportunis.
Sementara itu, Isabella Rossellini yang memainkan karakter Sister Agnes, biarawati misterius yang mengetahui rahasia masa lalu Lawrence, memberi dimensi emosional yang menghentak.
Dibalik layar, lokasi syuting di gereja-gereja bersejarah di Italia dan replika Kapel Sistina yang autentik menciptakan atmosfer klostrofobik.
Sinematografer James Friend (All Quiet on the Western Front) menggunakan pencahayaan natural dari jendela kaca patri dan lilin untuk menyimbolkan pertarungan antara terang (kebenaran) dan gelap (rahasia).
Adegan pemungutan suara dengan kertas terbakar di tungku menjadi metafora visual yang kuat: asap hitam yang mengepul ke langit seolah pertanda dosa yang tak tersucikan. Maka, tidak mengherankan jika Conclave menyabet Piala Oscar untuk kategori Best Picture.
Meski diadaptasi dari novel lawas, namun tema dan relevansinya dengan era saat ini begitu pekat. Dalam durasi sekitar dua jam, Conclave akan mengajak penonton merefleksikan beberapa isu kontemporer.
Sebut saja krisis otoritas institusi agama di era modern. Lalu ada pertentangan antara tradisi dan perubahan, seperti isu LGBT+, peran perempuan, dan transparansi finansial Vatikan.
Bagian paling menarik, dialog yang keluar dari para aktor merefleksikan para pemangku jabatan yang dikultuskan, justru memanipulasi kekuasaan, hingga mengupas bagaimana para pemimpin spiritual bisa terjebak dalam permainan politik yang sama korupnya dengan dunia sekuler.
Kelebihan dan Kekurangan
Telah diuraikan sebelumnya, film Conclave dipenuhi dengan narasi, dialog cerdas dan penuh simbolisme agama tanpa terkesan menggurui.
Paling mind blowing, twist akhir yang mengejutkan namun tetap logis, memaksa penonton mempertanyakan segala kepastian yang dibangun sebelumnya.
Acungan jempol juga layak dilayangkan bagi para sineas yang melakukan penelitian historis dan religius yang mendalam, yang terlihat dari detail ritual konklaf yang nyaris seperti sebuah dokumenter.
Meski didominasi penilaian positif, film ini juga tak luput dari sisi minor. Misalnya saja alur yang terlalu kompleks mungkin membingungkan penonton awam yang tak familiar dengan struktur gereja Katolik.
Selain itu, beberapa karakter kardinal kurang dieksplorasi, membuat konflik mereka terasa dangkal. Tapi, ini dapat dimaklumi karena keterbatasan durasi dan banyaknya karakter yang punya peran penting dalam film Conclave.
Jika harus memberi penilaian berupa review film Conclave, bisa dibilang film ini seperti cermin bagi siapa pun yang pernah mempertanyakan integritas pemimpin mereka: baik di gereja, pemerintah, atau organisasi mana pun.
Film ini bukan untuk penonton yang mencari aksi spektakuler, melainkan bagi penggemar thriller psikologis atau pemikir berat ala Spotlight atau The Two Popes, dengan kedalaman filsafat yang mengingatkan pada karya-karya Ingmar Bergman.
Pada dasarnya, Conclave mengingatkan kita bahwa di ruangan paling suci sekalipun, manusia tetaplah manusia dengan sifatnya yang rapuh, ambisius, dan selalu berada di persimpangan antara dosa dan penebusan.
Buat kamu yang penasaran dengan film terbaru ini, sempatkan diri untuk menonton film Conclave yang akan tayang di bioskop mulai 28 Februari 2025.
Berikan Komentar