Review Film In the Lost Lands: Petualangan Gelap yang Memukau di Dunia Fantasi George R.R. Martin

review Film In the Lost Lands

Jakarta, GayaTekno.id – Bayangkan jika kamu berada di dunia yang penuh sihir dan monster bukan sekadar dongeng, tetapi realitas yang kejam.

Di sana, seorang pemburu bayaran harus mempertaruhkan nyawanya untuk mengubah nasib, atau justru terjerumus dalam kutukan abadi.

In the Lost Lands, film fantasi gelap yang diadaptasi dari cerita pendek legendaris George R.R. Martin (Game of Thrones), membawa penonton ke dalam labirin petualangan penuh intrik, dilema moral, dan visual yang memukau.

Disutradarai oleh Paul W.S. Anderson (Resident Evil), film ini menghadirkan Milla Jovovich dan Dave Bautista dalam peran epik yang menguji batas manusia dan monster.

milla jovovich Film In the Lost Lands

Sinopsis Film In The Lost Lands

Gray Alys (Milla Jovovich), seorang pejuang misterius yang hidup dari upah berburu makhluk magis, menerima tugas berisiko dari Ratu yang haus kekuasaan (diperankan oleh Elena Satine).

Misinya: memasuki “Lost Lands”, wilayah terlarang yang dipenuhi kegelapan, untuk mencuri rambut dari penyihir paling berbahaya, Lira (Kristina Klebe).

Namun, harga yang diminta Lira bukanlah emas, melainkan jiwa manusia. Di tengah kebimbangan, Gray Alys bersekutu dengan sang pemandu, seorang manusia serigala bernama Boyce (Dave Bautista), yang menyimpan rahasia kelam.

Ulasan

Dari visual dan atmosfer, Paul W.S. Anderson menghadirkan dunia Lost Lands dengan estetika gothic yang gelap namun memesona.

Adegan di padang pasir berbatu, istana yang runtuh, dan hutan purba dilukiskan melalui CGI yang detail, meski terkadang terasa terlalu “bersih” untuk narasi yang ingin terkesan kotor dan primal.

Adegan pertarungan melawan makhluk hybrid (perpaduan CGI dan efek praktis) menjadi sorotan, terutama duel antara Boyce dan kawanan shadow creatures.

Dari aspek penokohan, Milla Jovovich, yang sudah akrab dengan genre fantasi-aksi, membawa aura tegas dan vulnurabel pada Gray Alys.

Chemistry-nya dengan Dave Bautista (Boyce) terasa alami; Bautista berhasil menampilkan kedalaman karakter manusia serigala yang terpecah antara naluri binatang dan sisa-sisa kemanusiaannya.

Sayangnya, karakter antagonis yang memegang peranan penting dalam cerita, seperti Ratu dan Lira kurang dieksplorasi, membuat motivasi mereka terasa datar.

Sementara itu, adaptasi cerita Martin tetap setia pada tema klasiknya: ketamakan manusia yang berujung kehancuran.

Dialog sarat filosofis (“Apakah kau akan jadi pemburu… atau mangsa?”) menjadi pengingat bahwa di dunia ini, tak ada pahlawan tanpa noda.

Namun, pacing film cenderung terburu-buru di babak pertama, seolah ingin cepat masuk ke aksi, sehingga pengembangan hubungan Gray Alys dan Boyce terasa kurang tulus.

Sementara dari aspek musik dan sound design, skoring musik oleh Alex Belcher (The Witcher) memperkuat atmosfer mistis dengan paduan suara Latin dan dentuman drum tribal.

Desain suara monster dan sihir juga imersif, meski adegan bisikan arwah di gua bawah tanah mungkin terlalu klise bagi penonton yang akrab dengan genre horor.

sinopsis Film In the Lost Lands

Kelebihan vs. Kekurangan

Seperti pada ulasan lainnya, review film In The Lost Lands pun meninggalkan beberapa opini pribadi terkait nilai tambah atau minus tayangan ini.

Dimulai dari kelebihan, harus diakui bahwa visual epik dan efek khusus yang disajikan cukup memukau. Performa Bautista juga mencuri perhatian.

Tak kalah menarik, tema moral yang ambigu dapat memicu refleksi bagi para penontonnya, tentang bias antara hitam dan putih.

Namun dibalik kelebihannya, terdapat beberapa catatan minor terhadap film bioskop terbaru ini.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dua sosok antagonis dalam film ini hanya sekadar karakter pendukung yang kurang berkembang.

Selain itu, adegan klimaks yang ditampilkan terasa terburu-buru. Akibatnya, beberapa plot twist bisa ditebak sejak awal.

Dave Batista Film In the Lost Lands

Kesimpulan

Secara keseluruhan, film In the Lost Lands adalah tontonan wajib bagi penggemar fantasi gelap ala Conan the Barbarian atau The Witcher.

Film terbaru ini sukses membangkitkan nuansa klasik 80-an dengan sentuhan modern, meski belum mencapai kompleksitas narasi karya Martin lainnya.

Jika kamu mencari petualangan seru dengan sentuhan filosofis dan aksi brutal, film ini layak ditonton, asal tak mengharapkan kedalaman layaknya kisah Game of Thrones.

Tivan Rahmat
The advance of technology is based on making it fit in so that you don't really even notice it, so it's part of everyday life