Kritik dan Saran YLKI untuk Pengendalian BBM Bersubsidi di DKI Jakarta

Jakarta, GayaTekno.id – Beberapa waktu lalu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah menggelar diskusi publik bertajuk “Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di DKI Jakarta”.

Menghadirkan multi stakeholders, mulai akademisi, pengamat, pemerintah, BPH Migas, kalangan milenial, jurnalis, dan lain-lain, forum diskusi ini menghasilkan beberapa kesimpulan.

Ketua YLKI Tulus Pribadi mengatakan, program BBM bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah kerap disalahartikan oleh masyarakat, sehingga justru melahirkan masalah baru.

“Masyarakat sering salah kaprah, dg membeli BBM yg lebih murah, tapi penghematannya tidak signifikan. Sedangkan dampaknya justru bisa lebih besar. Jadi masyarakat sebenarnya merugi, karena harus mengeluarkan biaya maintenance yang lebih tinggi,” kata Tulus dalam keterangan tertulisnya.

Namun, di sisi lain ada fenomena kesadaran di kalangan generasi muda, bahwa BBM bersubsidi akan merusak mesin, mesin jebol sehingga mereka lebih memilih menggunakan bbm yg lebih bagus, seperti Pertamax.

Selanjutnya, YLKI juga memberikan masukan bagi pemerintah untuk mencari alternatif energi agar anggaran subsidi bisa dialihkan ke sektor lain. Misalnya saja dengan penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG), yang seharusnya diimplementasikan dengan konsisten.

“Pemerintah didorong lebih konsisten dalam kebijakannya, misalnya dalam migrasi ke BBG. Penggunaan BBG itu bagus, ORGANDA mendukung, tapi pemerintah sendiri tidak konsisten. Sehingga jangan sampai diplesetkan bahwa BBG adalah “bolak balik gagal”. BBG memang lebih efisien dan lebih ramah lingkungan,” tambahnya.

Ketua YLKI Tulus Abadi

Sementara jika dilihat secara keseluruhan, BBM bersubsidi punya dua dimensi, yakni adil secara ekonomi dan adil secara ekologis.

Jika merujuk pada undang-undang tentang energi, maka subsidi energi peruntukannya adalah utk masyarakat tidak mampu. Jadi jika BBM bersubaidi mayoritas digunakan oleh pemilik kendaraan bermotor, maka ini bentuk ketidakadilan dari sisi ekonomi.

Sedangkan dari sisi ekologis, BBM bersubsidi adalah bentuk ketidakadilan ekologis, sebab yang berhak atas subsidi energi adalah energi baru terbarukan, bukan energi fosil seperti BBM, apalagi BBM dengan kadar oktan yang rendah.

Di saat bersamaan, pemerintah juga diharapkan terus mengembangkan transportasi umum yang baik, nyaman, murah, sehingga ketika terjadi migrasi dari pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal, akan menekan tingkat polusi di kota kota besar, khususnya Jakarta.

Lalu untuk mendisiplinkan masyarakat, lanjut Tulus, pemerintah didorong untuk membuat kebijakan berupa insentif dan disinsentif bagi warga.

“Sebagai contoh, bagi kendaraan yang tidak lulus uji emisi, maka bisa dikenakan tarif parkir progresif dan lebih mahal. Hal ini sudah mulai diujicobakan di Jakarta. Daerah lain bisa menerapkan hal yang sama,” sambung Tulus.

Terakhir, guna mengurangi penggunaan BBM, pemerintah diharapkan semakin gencar dalam mempromosikan penggunaan kendaraan umum.

“Upaya pemerintah untuk mempromosikan kendaraan listrik, belum cukup efektif untuk mengurangi polusi di Jakarta, sebab jumlahnya masih minimalis ketimbang jumlah kendaraan bermotor yang berbasis bensin. Oleh karena itu, yang mendesak untuk mengurangi polusi di Jakarta adalah migrasi ke angkutan umum, dan mengganti /menggunakan bahan bakar yang berkualitas baik dan ramah lingkungan,” pungkasnya.